Karena Utak-atik Istilah Lock Down, Faisal Basri :Utang Negara Naik 3 Kali Lipat Dibanding Zaman SBY-JK

DutaInfoUpdate.com – Sorotan pidato kenegaraan yang disampaikan Presiden Jokowi pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPD RI dan DPR RI pada 16 Agustus 2021 datang kembali dari pakar ekonom senior, Faisal Basri.

Berbeda dengan yang lain yang banyak menyorot pakaian adat yang dikenakan Presiden, Faisal Basri justru menyoal hutang negara yang jumlahnya sangat fantastis.

Dalam blog pribadi miliknya Faisal Basri mengulas secara panjang lebar tentang naskah pidato Presiden, yang didalamnya terdapat utang Negara akan mencapai 8,11 kuadriliun pada akhir 2022 mendatang.

“Ini berarti kenaikan luar biasa dibandingkan pada akhir pemerintahan SBY-JK sebesar Rp2,61 kuadriliun atau kenaikan lebih dari tiga kali lipat,” tulisnya dalam blog pribadi, dikutip haloyouth.pikiranrakyat.com 18 Agustus 2021.

Dalam perkiraannya, besaran hutang pada akhir 2022 mendatang bisa meleset lebih besar dari yang diumumkan jika pertumbuhan ekonomi tak memenuhi target APBN 2021 dan 2022.

“Kemungkinan itu cukup besar karena selama pemerintahan Jokowi tak pernah sekalipun target pertumbuhan tercapai.”

Tidak memenuhinya target memang bukan sepenuhnya kegagalan pemerintah. Menurutnya, pandemi COVID-19 memang menjadi biang keladinya.

Meski demikian, penanganan pandemi yang lemah oleh pemerintah semakin memperburuk keadaan yang pada gilirannya berakibat pada mahalnya ongkos yang harus dibayar akibat ini

“Gara-gara kerap mengutik-utik istilah untuk menghindari lock down sebelum menyebar ke seantero negeri, kepemimpinan yang dan pengorganisasian yang buruk, berbagai penyangkalan oleh para petinggi pemerintahan, dan “menuhankan” ekonomi, kita kalah dengan skor 0-2 melawan COVID-19: kesehatan kalah, ekonomi kalah,”

Kalahnya Indonesia di bidang ekonomi saat pandemi seperti sekarang menurutnya lebih diakibatkan pada lambatnya pemerintah Indonesia dalam memutus mata rantai penularan.

Sementara utang semakin mengelembung, karena pengeluaran pemerintah lebih cepat dari penerimaan perpajakan.

“Ditambah dengan kecenderungan selama sekitar sembilan tahun terakhir kenaikan penerimaan dari perpajakan lebih lambat ketimbang pertumbuhan ekonomi. Salah satu penyebabnya adalah obral fasilitas pajak demi menggenjot investasi yang notabene sudah relatif pada aras tinggi. Tak disentuh sama sekali strategi menurunkan ICOR (incremental capital-output ratio) yang di era Jokowi 50 persen lebih tinggi dari era pemerintahan sejak Orde Baru. Justru KPK dilemahkan. Kemerosotan tajam indeks demokrasi kita membuat oligarki semakin mencengkeram.”

Yang menambah beban utang Negara menjadi berat, tutur Faisal Basri, karena seperlima pengeluaran pemerintah pusat harus disisihkan untuk membayar bunga utang yang jauh lebih besar membayar bunganya dibanding dengan Jepang (237 persen), Yunani (177 persen) dan Singapura (133 persen).

“Meskipun nisbah utang ketiga negara itu sangat tinggi, beban pembayaran bunganya sangat rendah, masing-masing 9 persen untuk Jepang, 6,7 persen untuk Yunani, dan 0,6 persen untuk Singapura.”

Sumber: Faisalbasri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *